maaf :)
Pertemuan yang begitu meyakinkan, hingga terjalin apa itu yang dinamakan dengan sebuah P-E-R-S-A-H-A-B-A-T-A-N. Dan entah mengapa, semua memuai, hingga Puisi ini tak lagi untukmu.......
Dan ketika aku melihat cayaha ketenangan ari sorot matamu
untuk waktu yang entah bagaimana mampu melesatkan harapan yang pernah redup
kepercayaan yang begitu tenang
cara menunggu yang kau tunjukkan
ada hal yang menarik dari itu semua
bahwa mata yang tulus dan hati yang selalu sabar tak pernah kalah
dari ribuan detik yang berlalu hingga membuatmu sakit karena menunggu
Maafkan diri ini....
asal kau tetap memandang langit dari bumi...
kau tetap memiliki harapan
dan Tuhan tak pernah ingkar dengan janjiNya
bahwa orang yang sabar menunggu akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa :)
Surakarta, 11 Januari 2015
Dunia Imajinasi
Coretan aksara tentang kepolosan, ilmu pengetahuan, dan kehidupan milik Tuhan.
Selasa, 03 Februari 2015
Kamis, 30 Oktober 2014
Universitas Mimpi Bidang II
Lotus Bidang 2
Sebenarnya
cerita yang indah terkenang ialah cerita yang tak pernah berakhir, tak pernah
ditinggal oleh pemiliknya. Namun bukankah kita hanya di dunia mimpi. Maka,
cerita kita harus ada endingnya. Kita
harus terbangun dan memiliki kehidupan kekal abadi kelak. Cerita yang indah dan
akan berakhir namun terkenang ini bermula dari pemilik yang tersesat. Salah
satu temanku mengatakan meskipun kita tersesat, semoga ini adalah kesesatan
yang membawa kita pada kesuksesan. Dan banyak orang mengatakan, bukan di mana
kita berada namun bagaimana kita beraksi ditempat tersebut. Diantara dunia
manapun yang pernah kita masuki ialah dunia mimpi. Aku akan menyebut dunia yang
membuatku tersesat bersama teman-temanku di Universitas ini ialah dunia mimpi,
Universitas Mimpi. Karena manusia adalah makhluk lemah, klan paling lemah dan
gagal tanpa takdirNya. Maka dari itu dari sebuah mimpilah kita menyulap harapan
menjadi kenyataan. Di Universitas Mimpi, dimana aku mulai mengenal banyak
manusia. Aku memasuki sebuah organisasi, mari kita sebut sebuah organisasi
Lotus. Kami mempunyai banyak misi di dalamnya. Karena misi ini sangat rahasia
maka aku tidak akan membeberkan semuanya di sini. Jika kalian tertarik, maka
masukilah organisasi Lotus ini dan kalian akan mendapatkan misi tersebut.
Sebagai anggota baru, kami perlu melewati banyak pintu. Dan pintu yang pertama
aku masuki sebelum menjadi anggota ialah pembagian bidang mana yang akan
membawaku beraksi atas misi di Lotus. Misi yang terlimpahkan untukku ialah misi
di Bidang 2.
(mungkin)
kalian bertanya-tanya, apa sih gunanya misi? Baiklah, aku beri tahu sedikit
tentang apa dan bagaimana misi itu bereaksi didalam sebuah organisasi. Ada
beberapa program kerja di bidang 2, salah satunya tentang PIMPEL. Ini kali
pertamanya aku menjalankan misi bersama para pemegang misi—kakak tingkat. Semua
manusia bekerja keras dan tak sedikit rintangan menghadang. Maka kau perlu
strategi didalam sebuah misi. Disinilah misi bereaksi. Kata banyak kakak
tingkat, dalam sebuah organisasi kau akan mendapatkan banyak karakter yang
bermacam-macam diantara kalian. Melalui sebuah makna misi, kau akan belajar
mengenal mereka. Dari sifat yang biasa mereka tampakkan sampai sifat yang
mereka sembunyikan. Dari sebuah misi, kau akan merasakan betapa mengagumkannya
memiliki seorang teman. Dari sebuah misi, kau akan mampu memecahkan
masalah-masalah hidup bersama mereka. Namun kau harus bekerja bersama mereka,
melewati proses demi proses. Sehingga kau tahu, betapa bermaknanya sebuah misi
tentang organisasi. PIMPEL, memberiku pengalaman yang luar biasa. Para pemegang
misi (kakak tingkat) yang dengan sabar memberi pemahaman kepada kami tentang
misi tersebut. Pengorbanan waktu luang mereka, memberikan kita pemahaman
tentang hidup. Bahwa hidup bukanlah hanya tentang bahagia, hidup bukan hanya
tentang kau dan aku. Tapi hidup ialah tentang pemahaman kita melewati rintangan
demi rintangan, maka kau akan menemukan makna bahagia didalamnya bersama banyak
orang. Aku sangat setuju ketika misi ini—misi menuliskan isi perasaan, isi
bahasa kalbu, bisa terealisasikan. Meskipun cerita tentang bidang 2 cepat
berlalu karena waktu yang bergerak maju. Maka dengan mencurahkan segenap bahasa
kalbu lewat tulisan, semoga cerita tentang bidang 2 selalu hidup dalam memori
kita. Tak banyak yang bisa aku tuliskan disini, karena mereka terlalu indah
untuk diungkapkan. Tulisan ini hanya mampu mengungkap betapa bahagianya
memiliki keluarga meski kita berada dalam dunia mimpi. Rintangan yang selalu
menjadikan kita lebih baik, misi yang selalu membekaskan sebuah pengalaman
berharga. Tak ada tempat yang mampu menampung segala macam kebahagiaan kecuali
disini—bidang 2, Organisasi Lotus. Seperti yang telah kita lewati, banyak misi
akan menjadikan hidup kita lebih bermakna.
Surakarta,
14 Juli 2014
Bersambung...
Selasa, 16 September 2014
Senja yang sama
Setelah sekian lama, aku pikir senyuman dan tangisan satu
tahun sebelum semester ini (baca: semester 3) akan berlalu. Bagian kenangan
yang terlintas saat aku melewati lorong demi lorong waktuku. Kenangan tangis,
rasa sakit, senyuman, candaan hanya mengendap beberapa bulan. Dan kini aku
kembali. Aku kembali menjalani hari dimana kau selalu terlihat di bayang
mataku. Pada suatu hari, aku memutuskan mengalihkan bayangmu bersama senja. Namun
senja remang yang begitu indah ternyata kau memilikinya juga. Hingga senja
nyata yang sering aku tunggu dan kagumi kala melihatnya tak perlu lagi
kulakukan. Karena senja kini adalah dirimu. Boleh jadi, aku selalu menunggumu. Sama
seperti aku menunggu senja. Dimana saat aku mulai melihatmu, kau sama
spesialnya dengan senja. Bahkan kau lebih mengangumkan dari senja. Entahlah,
begitu banyak senja yang menghempaskan segala indahnya, namun hanya senja yang
sama, aku mampu menatapnya.
Rabu, 18 Juni 2014
Ketidakbolehan = Tiket Kebaikan
Bagiku
terlalu sulit bercerita tentang keadaan diri sendiri terhadap orang lain. Tak
apa bagiku menjadi seorang pendengar. Selama sesuatu yang aku dengar sangat
menyenangkan, menarik dan bisa menginspirasi. Seperti mayoritas anak perempuan,
ngerumpi begitulah cara mereka menyampaikan cerita tentang hidupnya. Dalam
hidup ini, kita berada pada berbagai macam bentuk perlakuan dari keluarga kita.
Bahwa kita sebagai anak kadang salah mengartikan perlakuan orangtua. Karena ada
sebagian orang tua dari kita yang tak pernah menjelaskan maksud dari
ketidakbolehan mereka. Bukankah begitu? Ketika kita menginjak remaja,
katakanlah pada masa SMP dam SMA. Menurut teori psikologi pada masa-masa inilah
seorang anak memiliki rasa penasaran yang kuat. Aku yakin kalian pernah
dilarang oleh orang tua atas sesuatu hal. Nah, inilah beruntungnya menjadi
seorang pendengar. Percaya tidak bahwa sebenarnya setiap orang itu punya cerita
yang hampir mirip hanya saja alur cerita, suasana hati dan tergantung dari
sikap kita yang membedakan. Namun intinya sama.
Di
sini bukan untuk membeberkan cerita seseorang, namun aku ingin menyampaikan
bahwa janganlah salah mengartikan ketidakbolehan orangtua. Ketika kalian
dilarang oleh orang tua, namun mereka tidak menjelaskan secara detail kepada
kalian. Janganlah kalian menganggap itu adalah bentuk perlakuan buruk kepada
kalian. Karena mungkin dari sebagian orangtua yang tidak mau menjelaskan secara
detail percaya bahwa suatu saat nanti anaknya akan tumbuh dengan pemikiran yang
dewasa. Begini, cerita dari temanku hamper sama juga dengan cerita tentang
hidupku. Pasti hamper sama juga dengan mayoritas anak perempuan. Pada masa-masa
remaja merasa terkekang, tidak boleh melakukan hal-hal diluar ketidakwajaran
menurut orangtua. Ya, dia bahkan meski hanya keluar dengan teman perempuannya,
tidak boleh tanpa orangtuanya yang mengantar.
Namun
ada cerita dari temannya yang tak kalah seru. Dimana ketika orangtua
mengajarkan dia tentang sesuatu ketidakbolehan dari mereka dan mereka percaya
penuh terhadap anaknya. Ya, seorang anak yang tumbuh dengan kepribadian yang
tomboy, keluar malam, gaya hidup yang mungkin jika dibandingkan denganku itu
tidak mungkin dilakukan oleh seorang anak perempuan. Tapi apa? Kenyataan mampu
menjaga dirinya. Nah, berarti menjadi pemikir yang seperti apakah kita, itu
tergantung cara orangtua mengajarkan kepada kita tentang hidup. Dengan
penyampaian tentang hidup dari orangtua kepada dia, dia menjadi sosok anak
perempuan dengan pemikiran yang hati-hati dan bijaksana. Benar-benar hebat, dan
hebatnya dia sukses. Begitulah, sebenarnya bentuk ketidakbolehan orangtua itu
adalah tiket kita menjadi orang yang baik. Jadi, bagi kalian yang masih SMP,SMA
janganlah melawan ketidakbolehan orangtua kalian selama itu adalah hal yang
baik buat kalian. Jadilah pribadi dengan pemikir yang baik. Karena setiap
perlakuan dari orangtua itu juga tergantung dari pribadi kita masing-masing.
Diberi kepercayaan oleh
mereka berarti mereka mempercayai bahwa kita telah menjadi pribadi yang dewasa
dengan pemikiran yang hebat. Karena jika kalian salah mengartikan
ketidakbolehan mereka, jiwa kalian itu masih jiwa labil. Kalian hanya perlu
menerima dengan pemikiran yang positif. Dengan bertambahnya umur suatu saat
kalian akan sadar. Bahwa mereka melakukan hal tersebut demi kebaikan kalian.
Karena jangan sampai dengan ketidakbolehan mereka menjadikan kalian salah jalan
dan keliru menjadi pemikir yang hebat. Seperti inilah cerita yang aku kemas,
karena bagiku mendengar cerita orang lain itu sangat menyenangkan dan menarik.
Dan salah satu wujud kebisaanku yaitu hanya mampu menorehkan setiap kata lewat
tulisan. Maka semoga siapapun yang membaca mendapat “sesuatu” yang bermanfaat
dari sini.
Senin, 03 Maret 2014
Tak Ada Ruang Untukku[?]
my collection Ig |
Ah,
akhir-akhir ini radak melankolis. Aku
ndak tahu harus mulai coretan ini
darimana. Sejak 8 Februari yang lalu berlalu, kita beneran beda. Atau memang
kau yang sudah berbeda namun aku yang selalu curiga pada hatiku. Curiga. Iya
hatiku curiga, jangan-jangan aku tak sungguhan focus pada mimpi-mimpiku. Sibuk
merindukanmu kala pagi mengintip. Sibuk memasang ‘alarm’ berharap kau juga
merasakan yang sama. Namun hari ini aku benaran sadar!. Kau sungguhan berbeda.
Ruang kolom kecil di layar hp saja
hanya bersimbol gambar kau tersenyum. Ah, aku bukan pakar emoticon!. Tak ada
pembiaraan yang serius memang. Namun bukankah kau masih supel seperti dulu?.
Atau kau mulai membenciku? Tidak, aku tidak menuduhmu dengan sembarang
prasangka. Sungguhan. Akhir-akhir ini ruang kita, eh bukan, ruangku maksudnya
mulai kau abaikan. Bagaimana? Benarkan?. Atau kau mulai mempersilakan masuk
tamu yang kau inginkan berada di ruangmu? Begitukah? Baiklah, jujur saja aku sudah mulai damai dengan
hatiku, kau boleh mempersilakan masuk. Teramat boleh. Bukan menjadi keharusan
larangan untukmu mulai sekarang tentang ketidakbolehanku. Jadi, mulai sekarang
bagaimana kalau aku biarkan kau menjajah duniamu lebih luas tanpa aku harus
selalu merasa berharap kau sama? Eh maksudku tanpa aku merasa seperti harus
selalu menunggumu, iya. Kau kejar mimpi-mimpimu, aku juga akan mengejar
mimpiku. Meski aku tak tahu harus menunggu dengan model sukses yang seperti
apa. Tapi aku akan menunggu dengan model sukses yang kupunya. Meski tak ada
tempat menunggu selain di sini, ya menunggu kau dan aku sukses. Aku tak
mengharuskan kau sukses membuat hidupmu berwarna dengan model menungguku di
sini, namun kau harus sukses membuatku tersenyum lega dengan model menungguku
di sini. Ya, tersenyum lega ketika kau tak lagi sama.
Rabu, 26 Februari 2014
:)
audi-audi.deviantart.com |
Hidup ini (bukan) seperti Akar Gantung
Separuh
hati, kepedulian yang tulus.
Posisi tubuhku
terduduk bersandar tembok samping kosan. Menahan semacam cahaya yang meyilaukan
mata dengan punggung tangan menutup hampir seluruh kedua mataku. Pupil mataku
tak berakomodasi. Sial. Sekadar mengintip dari balik jari-jari meski cahaya itu
terlalu liar menyipitkan pupilku. Cahaya terang itu menampakkan siluet
seseorang berdiri tegak 4 meter dari tempatku terduduk. Aku berusaha berdiri
tegak, sialnya kedua kakiku terjerembap lumpur. Area samping kosan ditanami
padi. Ada pembatas semacam jalan setapak kira-kira dua jengkal. Seseorang itu
mendekat membuat silau sempurna menusuk mukaku. Entahlah, tiba-tiba ada sesuatu
yang lebih dingin dari udara malam ini bagai merambat ke sekujur tubuhku. Dua
detik kemudian cahaya itu lenyap, aku tak bisa melihat apapun di depanku.
Mataku pun berhenti bekerja, gelap seketika.
***
“kau…” dengan nafas terengah aku
meraba apa saja yang ada di dekatku, barangkali menemukan benda yang bisa untuk
membela diri. “aaaaaa…..” splasss!!!!.
“Lili…, syukurlah kau siuman”
suara serak agak cemas perlahan menendang gendang telingaku meski aku masih
dalam keadaan belum normal. Bayangan hitam itu masih menggantung di kedua
kelopak mataku. Hingga aku menyadari goyangan lembut menyentuh tubuhku. Aku
baru tersadar, menata potongan nyata dalam hidup—perlahan . Dua detik kemudian
aku mulai menyadari seseorang di sampingku—yang sedari tadi berusaha membuatku
membuka mata.
“Raini…” aku terkejut setengah
tidak percaya. “jadi, tadi itu mimpi?” aku entah bertanya pada siapa. Masih
bingung menjelaskan ‘sesuatu’ yang berada di ujung lidahku. ‘sesuatu’ yang
hendak ingin kukatakan tapi otakku malas berfikir.
“mimpi? Bukan Li, kau tadi….”
“kau tadi pingsan di kosan” Septian—yang
baru kusadari keberadaannya, dengan cepat memotong penjelasan Raini.
“kau istirahatlah dulu. Jangan
banyak gerak, apalagi pecicilan.” aku mengernyit menatap Septian yang berbicara tanpa melihatku—malah
bersitatap dengan Raini.
“iya Li, tenang aja aku bersedia
nungguin kok” Raini menyetujui kalimat Septian. Aku rasa mereka sengaja
sekongkol. Lihat saja, air muka Raini yang berubah nurut setelah mereka
bersitatap. Aku tak mempeduliakan percakapan mereka—yang bercakap-cakap
mendebatkan sesuatu di luar kamar rumah sakit. Apa yang barusan terjadi. Aku
sibuk menganalisa ‘sesuatu’ yang mengganggu pikiranku. Aku berusaha mengingat
apa yang terjadi 2 jam lalu. Tapi nihil. Mereka juga belum menjelaskan apapun
padaku. Aku terus berfikir. Hingga terlelap.
***
Pagi memendarkan
cahayanya dari balik gedung-gedung tinggi pencakar langit. Aku bersungut-sungut
keluar kamar rumah sakit—milik kampus, menuju lorong tempat tunggu pasien.
Setelah perdebatan yang berhasil menghilangkan moodku sepagi ini. Sial, kenapa mereka harus meminta keterangan
tentang orangtuaku. Di sepanjang lorong, aku tak henti ngomel-ngomel. Aku yang
sebal dengan celotehan perawat rumah sakit berseru kalau hal semacam ini bisa
kuurus sendiri—berlari meninggalkan Raini dan Septian yang sok manis meladeni
perawat itu. Setengah jam kemudian Raini dan Septian menghampiriku. Septian
menegurku lebih dulu. Aku menatap Raini yang urung mengatakan sesuatu—mungkin
sudah menyerah berdebat denganku.
“Li, kami hanya meminta kau
menghubungi orangtuamu. Kami akan lebih tenang, setidaknya sampai teror kemarin
malam nggak terjadi lagi. Kau juga harus chek-up,
kami khawatir dengan kepalamu yang terbalut itu. Jangan-jangan otaknya penyok lagi. Hehe” Septian menasehatiku
setengah bergurau. Aku menatap kosong ke sepanjang lorong, sejurus kemudian
melirik Septian dengan senyum tipis lantas membalas nasehat Septian dengan dua
kali anggukan.
“Li, aku tahu beberapa hari
terakhir kau sibuk sendiri. Entahlah apa yang membuatmu seakan mengindari kami.
Kalau kau memang punya masalah dengan kami, katakana saja. Bukankah itu
peraturan dalam kelas kita?. Tapi perlu kau tahu Li, kami amat peduli denganmu.
Meski kau kadang dingin, tapi kepedulian itu telah lama melekat sejak kau
melempar Daus dengan penghapus. Aku masih ingat, kala itu pemilihan ketua
kelas. Jelas, suasana kelas ramai. Berebut Septian yang pantaslah, Si Asyar-lah,
Zuam-lah. Dan biang kerok akar keributan ya, Si Daus. Haha. Kau jengkel,
refleks mau melempar pengahapus ke papan tulis eh malah kena Si Daus. Ajaibnya,
seisi kelas diam. Tercengang”,Raini sudah duduk disampingku sembari melingkarkan
tangannya ke punggungku. Dengan intonasi agak serak, mungkin menahan sesuatu
yang mendongkol—mencoba menghiburku. Satu menit setelah kami terdiam tenggelam
dalam pikiran masing-masing, Raini berdiri memberi isyarat, yuk pulang.
***
Septian
menyarankanku untuk bermalam beberapa hari di kosan Raini. Awalnya aku ingin
menolak, tapi Raini sudah mencomot alih pembicaraanku dengan Septian.
Sebenarnya aku hanya butuh waktu sendiri, iya hanya aku seorang diri, hatiku
dan keheningan. Kebetulan peristiwa itu terjadi malam sabtu. Dua hari, sabtu
dan minggu aku rasa cukup untuk menenangkan pikiranku yang kacau akhir-akhir
ini. Cukup juga untuk mengemasi rasa sakit, namun hanya aku seorang diri saja
bersama keheningan. Sama seperti sore ini, tiduran di kamar Raini saja rasanya
amat menyebalkan. Aku beranjak meninggalkan Raini yang tertidur pulas—menaiki
anak tangga ke lantai tiga tempat menjemur pakaian. Di lantai tiga tanpa atap
memang tempat yang tepat untuk menyegarkan paru-paru. Bahkan di ketinggian
tempat ini bisa melihat langit, pemandangan tanpa batas. Hanya ada semilir
angin yang memainkan suara khasnya dan keheningan. Banyak yang mesti kupikirkan
sekaligus kuselesaikan bersama keheningan. Satu hal yang membuat pikiranku
selama ini terganjal kenyataan. Iya, kepedulian mereka. Dan ketika malam
merengkuh haknya nanti, pikiranku harus sudah beres. Entahlah, kejadian kemarin
malam teralihkan dengan satu kenyataan yang tersembunyi. Meski kejadian itu
akan berdampak menyeramkan suatu hari nanti. Namun kejadian itu juga
menyiratkan porsi yang amat hebat tentang persahabatanku. Aku menganggap
kepedulian mereka selama ini hanya perlakuan sebagaiamana mestinya orang
bertindak. Ya, hanya wujud mungkin supaya mereka dipedulikan balik. Nyatanya
aku salah. Aku keliru total. Dua hari sebelum peritiwa menyeramkan itu, aku sempat
uring-uringan dengan Septian. Ah, hanya masalah uang kas. Dia pastinya mengerti
benar keadaanku, kita sesama anak kosan. Aku terlalu menelan mentah perkatannya
yang sebenarnya terkesan nyleweng tapi berhubung aku sedang gerah, aku
mengatakan hal yang mestinya tidak aku katakan. Membuat air mukanya berubah
tertunduk. Tapi lihat. Memang benar, kepeduliannya tidak berkurang sesentipun.
Mereka tulus peduli padaku. Hanya saja aku butuh waktu untuk meluruskan arah
pikiranku yang kadung tersesat. Tak apalah kadung tersesat. Beruntunglah, masih
ada separuh hatiku yang cerah untuk menerangi pikiran yang tersesat . Aku
belajar peduli sesama dari mereka. Baiklah, peduli apa pada separuh hatiku yang
masih kelam. Aku masih punya separuh lagi yang mampu berpendar. Setidaknya,
separuh yang cerah akan kuat bertahan menuntunku sampai aku menemukan semua
jawabannya.
…….
Langganan:
Postingan (Atom)